Risan Bagja

Arok Dedes

Arok Dedes
Arok Dedes

Aku pertama kali mengenal karya Pramoedya Anata Toer saat zaman kuliah dahulu. Kala itu aku membaca Tetralogi Pulau Buru-nya yang fenomenal: Bumi Manusia, dan saat itu juga aku terpukau pada kejeniusannya dalam menulis. Beberapa hari yang lalu, saat aku ditugaskan ke Pulau Kundur—sebuah pulau kecil yang merupakan bagian dari Kabupaten Tanjung Balai Karimun, Kepulauan Riau—di sebuah kedai buku kecil dekat pelabuhan, aku mendapati karya beliau yang lainnya: Arok Dedes.

Sama halnya dengan Bumi Manusia, Arok Dedes rupanya merupakan karya tetralogi yang Pram tulis saat menjalani pengasingannya di Pulau Buru. Adapun tiga karya yang lainnya: Mata Pusaran, Arus Balik dan Mangir. Sayang karyanya yang sempat hilang, Mata Pusaran, ditemukan tidak utuh dan hanya tersisa beberapa lembar saja.

Novel ini tidak menceritakan tentang kutukan keris Empu Gandring yang akan jatuh tujuh turunan. Jauh dari semua kesan magis atau mistis, roman ini justru menceritakannya dengan sangat realistis. Tentang bagaimana siasat-siasat cerdik nan licik dijalankan untuk mengkudeta si pemilik singgasana.


Tunggul Ametung adalah seorang Sudra, seorang anak petani. Seorang perusuh dan pemimpin pemberontakan yang kemudian diangkat menjadi Akuwu di Tumapel oleh Kerajaan Kediri. Bersama Raja Kediri saat itu: Sri Kertajaya ia kembali melakukan praktik perbudakan yang telah lama hilang sejak zaman Erlangga. Rakyat menjadi sengsara. Tak sedikit sanak keluarga mereka dipaksa untuk bekerja sebagai budak. Menjadi pelayan di pekuwuan atau menjadi pendulang di tambang-tambang emas tanpa upah. Belum lagi pemerintahannya yang korup selalu menindas rakyat-rakyat kecil dan menetapkan upeti yang sangat memberatkan.

Dedes, seorang Brahmani pemuja Dewa Syiwa. Gadis cantik berhidung bangir yang cerdas. Putri tunggal dari Mpu Parwa—seorang Brahmana terpandang yang dicabut izin pengajarannya oleh kekuasaan Tumapel. Dedes yang cantik luar biasa inipun harus merasakan kejinya Akuwu Tumapel. Secara paksa Dedes diculik dan dijadikannya Pramesywari Tumapel, menjadi istri Tunggul Ametung.

Adapun Arok, seorang Sudra yang tidak jelas asal-usulnya, seorang jenius yang menjadi dalang runtuhnya tirani Tunggul Ametung. Saat bayi, ia dibuang oleh orangtuanya. Namun beruntung ia ditemukan dan diasuh oleh Ki Lembu—seorang petani yang lembut nan disiplin. Dari Ki Lembu ini pula ia belajar tentang ilmu beladiri. Namun suatu hari, karena kelalaiannya salah satu ternak yang ia gembalakan diterkam Harimau. Ki Lembu yang lembut untuk pertama kalinya meluapkan amarahnya. Temu—nama kecil Arok—pun meninggalkan rumah Ki Lembu dan memulai petualangannya sebagai pemberontak penguasa Tumapel.

Suatu ketika ia dan kawanannya dikejar-kejar tentara Tumapel. Ia pun lari ke sebuah desa dan menyamar menjadi salah satu anggota petani yang tengah bekerja di sawah. Saat itu pula ia diangkat menjadi anak si petani tersebut: Ki Bango Samparan. Sejak kehadirannya, Ki Bango Samparan yang gemar berjudi itu kerap menang dalam permainan judinya. Tak ayal Temu menjadi anak kesayangan Ki Bango Samparan hingga menimbulkan kecemburuan pada saudara-saudara angkatnya, terkecuali Umang—putri bungsu Ki Bango. Kecemburuan yang memuncak, membuat Temu memutuskan untuk hengkang dari rumah Ki Bango. Bango Samparan menyarankan Temu untuk menuntut ilmu pada Tantripala. Temu pun mengikuti saran ayah angkatnya itu. Ia mengajak serta Tanca—kawan dekat dan sekutu pemberontakannya—untuk belajar ke Tantripala.

Temu sangatlah cerdas. Daya ingatnya sempurna. Dalam waktu singkat semua ajaran Tantripala sudah ia kuasai. Ribuan bait rontal telah ia hapal. Bahasa Sangsekerta dengan mudah ia baca, tulis dan lafalkan. Bahkan pengetahuan Budha—yang dilarang oleh para Brahmana—Tantripala turunkan pada Temu dan dengan mudah pula Temu kuasai. Karena tidak ada lagi yang bisa Tantripala ajarkan, Temu pun ia serahkan pada petinggi Brahmana yang sangat dihormati: Dang Hyang Lohgawe.

Sama seperti sebelumnya, dengan cepat Temu menguasai semua ajaran Lohgawe. Dan pada usia 20 tahun ia selesaikan semua ajaran yang Lohgawe berikan; sebelumnya belum ada yang bisa lulus secepat itu. Sama seperti Tantripala, Lohgawe pun terpukau dengan kejeniusan Temu. Pada saat kelulusannya, Lohgawe menggelari Temu: Arok yang artinya membangun. Lohgawe berharap Arok dapat mengakhiri penindasan yang dilakukan Tunggul Ametung.

Arok terus melancarkan pemberontakannya. Pasukan Tumapel yang membawa upeti ke Kediri dihadang dan dirampasnya. Ia tak henti-hentinya mengajak rakyat Tumapel untuk membantu, mendukung dan turut serta gerakan pemberontakannya. Pasukannya pun kini bertambah kuat dan besar. Tunggul Ametung dan Pasukan Tumapel-nya kewalahan dalam memadamkan gelombang pemberontakan yang diprakarsai Arok.

Belakangka, seorang Brahmana, seorang utusan kediri yang menjadi penasihat bagi Tunggul Ametung menyarankannya untuk merangkul Dang Hyang Lohgawe dalam mengatasi arus pemberontakan yang terjadi. Meski pada awalnya ia menolak anjuran Belakangka, namun akhirnya ia pun luluh pada bujukan Dedes dan datang menemui Dang Hyang Lohgawe.

Kesempatan ini tentu tidak disia-siakan oleh Lohgawe. Ia menyarankan Tunggul Ametung untuk mengangkat muridnya, Arok, untuk menumpas pemberontakan di Tumapel. Meski awalnya Tunggul Ametung merasa sangsi dan curiga, namun akhirnya ia menerima Arok karena kepandaiaan yang ditunjukannya. Bersama dengan pasukan yang Arok bawa, ia dan Dedes mulai menggerogoti kekuasaan Tunggul Ametung. Soal pemberontakan yang terjadi, tentu dengan mudah Arok tangani, karena gerakan tersebut memang ia yang mendalangi. Ia jebak Pasukan Tumapel yang ia bawa untuk diumpankan kepada pasukan pemberontaknya. Ia rampas senjata dan seragam Pasukan Tumapel untuk kemudian digunakan para pasukan pemberontaknya. Pasukannya pun bertambah kuat.

Empu Gandring, seorang pandai besi, seorang pembuat senjata Tumapel yang licik dan rakus. Yang dengan wibawanya ia genggam pasukan Tumapel dan para Tamtama-nya. Dengan liciknya ia adu dombakan para Tamtama. Mengiming-imingi mereka dengan tahta Pekuwuan Tumapel; Kebo Ijo salah satu korban adu dombanya.

Kebo Ijo adalah seorang Satria yang di-Sudra-kan oleh Tunggul Ametung. Ia hanya dijadikan seorang Tamtama oleh Tunggul Ametung yang berdarah seorang Sudra. Oleh karenanya apabila gerakan Kudeta Empu Gandring ini berhasil, hanya dirinya lah yang pantas memegang tampuk kekuasaan. Di balik semua itu tentu si pembuat senjata yang rakus ini hanya mengincar emas dan kekuasaan belaka.

Namun rupanya bukan hanya Empu Gandring yang memanfaatkannya, Belakangka juga. Tunggul Ametung yang sudah tidak bisa ia pengaruhi lagi, membuatnya geram dan berpaling pada Kebo Ijo yang nyatanya mudah ia kendalikan. Dengan perak, emas dan pasukan kuda yang dimilikinya, ia bujuk Kebo Ijo untuk berada di pihaknya.

Dengan Pasukan Tumapel yang kini memihak padanya, ditambah dengan pasukan kuda di sisinya, Kebo Ijo merasa di awang-awang. Ia mengikuti saran Belakangka untuk memamerkan kekuatannya di Kutaraja—Ibu Kota Tumapel. Dengan siasat Arok, Dedes merayu Kebo Ijo, menggiringnya ke dalam perangkap.

Dedes memastikan kalau Tumapel sudah dengan pasti jatuh ke dalam tangan Kebo Ijo. Suaminya, Tunggul Ametung, sudah tidak berdaya dan akan diserahkannya pada Kebo Ijo. Sementara Arok akan segera ia usir setelah pelantikan Kebo Ijo sebagai Akuwu Baru Tumapel. Dedes juga merayu agar pasukan yang dibawa Kebo Ijo beristirahat dan berpesta untuk menyambut kemenangan telak Kebo Ijo atas Tunggul Ametung. Kebo Ijo pun terbujuk tipu daya Dedes.

Sementara di luar pekuwuan pasukan pemberontakan yang diprakarsai Arok telah mengepung. Pasukan pemberontaknya kini sangatlah besar, banyak yang bergabung untuk menjadi saksi tumbangnya Tirani Tunggul Ametung: penduduk desa, para budak, petani hingga para biarawati.

Pada hari yang telah ditentukan Dedes, Kebo Ijo datang kembali bersama para Tamtama-nya. Melakukan pengangkatan atas dirinya sebagai Akuwu Tumapel yang baru. Kebo Ijo yang sudah tidak sabar menunggu Dedes, merangsek masuk, dengan keji membunuh Tunggul Ametung yang tengah mabuk dan tak berdaya. Kebo Ijo telah masuk perangkap Arok.

Pasukan pemberontak milik Arok menyerang tiba-tiba dari segala penjuru. Pasukan Kebo Ijo yang lengah dan dimabuk pesta kalang kabut dan menjadi bulan-bulanan. Dengan mudah Pasukan Kebo Ijo ditaklukan. Para Tamtama yang tengah berada di Pendopo Pekuwuan pun ditangkap. Sementara Kebo Ijo semakin terdesak dengan pedang berlumuran darah di tangannya. Adapun Empu Gandring dan Belakangka dengan mudah diringkus beberapa hari sebelumnya.

Di depan para pemberontak—rakyat Tumapel yang selama ini tertindas—Arok atas titah Dedes mengadili Kebo Ijo, Empu Gandring, Belakangka dan Tamtama yang bersekutu untuk menjatuhkan Tunggul Ametung dan Arok. Dan saat itu pula, Dang Hyang Lohgawe mengangkat Arok menjadi Akuwu Tumapel yang baru. Ditemani Dedes dan Umang—yang telah menjadi istri Arok—sebagai pramesyawarinya. Mengikuti jejak Erlangga, Arok pun menghapuskan sistem perbudakan di Tumapel.

Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer. (Sumber Adhical)
Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer. (Sumber Adhical)

Judul: Arok Dedes
Penulis: Pramoedya Ananta Toer
Penerbit: Lentera Dipantara
Cetakan: 9, Juli 2009
Halaman: 561

Foto cover dari Flickr oleh Andrea Kirkby.