Aku Ingin Petualangan
Kala remaja cita-citaku sederhana, seperti remaja-remaja kebanyakan. Lepas SMA, kuliah di fakultas teknik ternama, diwisuda, kemudian bekerja di perusahaan-perusahaan swasta yang bonafit. Perusahaan minyak multinasional misalnya. Tak jarang juga aku mempertimbangkan untuk menjadi seorang programmer, yang tak perlu sering-sering pergi ke kantor. Cukup diam di rumah, duduk di hadapan komputer sembari memainkan tuts-tuts keyboard, meramu ribuan baris program.
Cita-citaku sangat sederhana. Memiliki pekerjaan tetap dengan gaji yang besar. Tinggal di kota besar dengan berbagai fasilitas kesenangan dan kemudahan yang tersedia: mall, hotel, tempat hiburan, taman bermain, bioskop, teater, jalan tol, hingga ATM. Mapan secara finansial, lalu menikah dengan wanita idaman. Tinggal bersama dalam sebuah apartemen di pusat kota. Membangun sebuah keluarga bahagia-berencana. Tua bersama sang istri idaman. Merawat anak-anaknya dalam sebuah apartemen yang mewah. Sesekali bertamasya bersama ke Bali, Singapura, atau Eropa. Bahagia bukan?
Ide-ide untuk menjelajah hutan, tinggal di pulau-pulau terpencil, mengigil di puncak gemunung, berkendara melintasi padang savana, ataupun menyelam di antara tebing-tebing karang; kala itu tak pernah terlintas sedikitpun. Aku hanya ingin hidup yang nyaman nan makmur: dengan saluran televisi berbayar, internet berkecepatan tinggi, pendingin ruangan, kasur pegas berlapis bulu angsa, candle light dinner, mobil sedan teranyar ber-cc besar, serta kemeja armani.
Namun kini semua itu berubah. Aku tak ingin bekerja ala “kantoran”. Pergi jam 7 pagi pulang jam 4 sore. Duduk manis di depan layar komputer, sembari digelitiki udara dingin dari AC. Aku tak ingin rutinitas. Duduk empuk di atas kursi putar. Menganalisa angka-angka di atas kertas, sambil sesekali mendengar decit gerak mesin fotokopi yang menyebalkan. Aku tak ingin terjebak macet dalam mobil sedan ber-cc besar. Candle light dinner bersama istri di restoran terkenal, untuk kemudian pulang ke apartemen dan kembali kerja keesokan harinya. Aku tak ingin rutinitas. Aku ingin petualangan!
Aku ingin hidup sebagai petualang. Pergi ke berbagai tempat, bertemu dengan banyak orang. Melihat berbagai budaya. Mendengar berbagai cerita. Aku ingin berlayar dengan kapal pinisi. Membelah khatulistiwa. Menantang ombak raksasa untuk menggapai pulau-pulau terpencil. Aku ingin terjebak dalam gerbong-gerbong kereta lusuh. Memotret kenyataan hidup dan mendengar kisah-kisah getir penumpangnya. Aku ingin menyelam di lautan. Meliuk-liuk bersama ikan-ikan yang menari di sela-sela karang. Aku ingin menapaki punggung-punggung gunung. Melawan lelah dan dingin yang mengepung hingga puncaknya. Aku ingin naik ke atas punggung gajah. Menelusuri bibir-bibir sungai di lebatnya hutan hujan. Aku ingin petualangan!
Aku ingin mengecap getirnya kehidupan. Mengajarkan tambah, kurang, kali, dan bagi kepada anak-anak di pelosok negeri. Aku ingin ikut menjaring ikan bersama para nelayan-nelayan kompresor di Perkampungan Bajo. Aku ingin ikut memotong bambu, mengikatnya membentuk rangka rumah-rumah di pelosok Waerebo. Aku ingin memacu perahu panjang. Membelah nadi-nadi sungai di Borneo untuk tinggal bersama suku Dayak Iban. Aku ingin menempuh ribuan kilometer untuk menari dan membuat sagu bersama Suku Asmat di lembah Baliem yang damai.
Ah, betapa aku mendambakan hidup seperti itu.
Foto cover dari Unsplash oleh Chris Hayashi.