Bianglala
Langit malam itu mendung
Cahaya gemintang yang lemah tak mampu menembus gelapnya langit
Sedari sore sepleton awan hitam bergelantungan di langit-langit kota
Tapi tak ada setetespun hujan yang turun membasuh jalanan yang berdebu\
Temaram lampu-lampu kota mengawal langkahku
Redup cahayanya memantul-mantul di jalan-jalan milik
para kekasih, mereka yang meninggalkan, mereka yang ditinggalkan
para pelancong, mereka yang meminta, mereka yang mabuk
Hembus angin malam menutupi jejakku
Rintih semilirnya membisikan pesan kesedihan yang mendalam
Kakiku terus mengayun
Tak peduli kemanapun kakiku melangkah, ku hanya ingin terus berjalan
Jantungku berdegup perlahan
Degupannya keras menggema dalam rongga-rongga yang kini telah kosong tak bertuan
Pikiranku kosong
Aku sepotong daging yang bisa berjalan tapi tak berjiwa
Di sana aku berhenti
Di jalan yang aku tidak tahu namanya
“Kalau mau lewat sini harus pake tiket mas”
Tegur seorang lelaki penjaga jalan
Kusodorkan dua lembar uang seribu dan satu keping uang limaratus
Layaknya pertunjukan bioskop, si lelaki memberiku sebuah tiket
Tercetak di sana “PASAR MALAM – PERAYAAN SEKATEN YOGYAKARTA”
Kulangkahkan kaki menerobos keramaian
Di kiri di kanan terjejer panganan yang aku tidak tahu namanya
Ada yang merah, hijau, coklat, warna-warni tetapi kebanyakan merah
Hanya dua yang kutahu: permen kapas dan gorengan
Ada seorang ayah-ibu bersama putra-putrinya
Ada sepasang kekasih yang sumringah senyumnya
Ada pemuda-pemudi yang bergerombol
Ada juga yang sendirian seperti diriku malam itu
Terus kumenerobos jalan yang penuh sesak itu
Kini kudapati kiri kananku berjejer wahana permainan
Tong setan, komidi putar, bianglala, rumah hantu, kuda-kudaan, pesawat-pesawatan, ombak banyu, balon-balon raksasa
Kuisi perutku dengan sate yang kutidaktahu namanya
Kududukan tubuhku tepat disamping ibu penjual yang kutidaktahu namanya
Asapnya sekali-kali menghampiriku
Tidak banyak yang diperbincangkan, kami berdua berbeda bahasa
Tepat di depanku bianglala berputar dengan semangat
Lampu-lampu neon merah, hijau dan kuning berjejer menghiasi jari-jari bianglala
Kotak-kotak speaker hitam melantunkan lagu yang kutidaktahu judulnya
Semua pengunjung tersenyum, tertawa kecil, tertawa terbahak-bahak
Seketika itu juga rongga-rongga kosong dalam dadaku terisi sejumlah perasaan yang menyenangkan
Nafasku berhembus, senyumku tertarik
Hidup tidak selamanya menyenangkan
Adakalanya penuh kesedihan, kekecewaan, hilang pengharapan, kesepian
Tapi itulah hidup, seperti bianglala itu, berputar terus menerus
Bianglala dengan warna-warni lampu neonnya
Karena kesedihanlah yang mengajarkan kita betapa mewahnya sebuah kegembiraan
Karena kekecewaanlah yang mengajarkan kita betapa berharganya sebuah penghargaan
Karena keputusasaanlah yang mengajarkan kita betapa ajaibnya sebuah pengharapan
Karena kesepianlah yang mengajarkan kita arti kebersamaan
Foto dari Unsplash oleh Andrea Enríquez Cousiño.