Di Rumahku, Indonesia
Di Homs, rentetan peluru berdesing mengusik malam. Suara martir menggelegar membelah gedung-gedung yang berdiri kokoh. Kawat-kawat berduri melintang di pinggiran kota. Mayat-mayat bergelimpangan. Isak tangis sendu membayang dari balik puing-puing kota.
Di Mogadishu, ratusan mobil berduyun merayap dalam satu barisan. Boks-boks makanan, galon-galon air, televisi, radio, lemari-lemari kayu, gulungan kasur menyesaki atap mobil-mobil itu. Ribuan orang mengungsi. Sementara di pinggiran kota, selongsong-selongsong peluru berserakan bercampur merah darah.
Di Athena, sebaris warga tampak kuyu berderet, memelas untuk sepotong roti gandum. Gedung-gedung perkantoran dilumat api. Kaca-kacanya pecah dilempari mantan pegawainya sendiri. Meja makan di rumah-rumah warga kini kosong tak berisi, tak ada lagi jamuan khas para dewa.
Di Indiana, sebuah kota porak poranda diterjang tornado. Rumah-rumah, toko-toko, gedung-gedung sekolah, perkantoran, semuannya luluh lantak diamuk badai. Tak ada yang tersisa, hanya puing-puing reruntuhan yang terserak bersama kesedihan.
Di Indonesia, di rumahku, aku masih bisa tertidur pulas tanpa teror dari peluru. Aku masih bisa makan sepuasnya tanpa harus dihantui kelaparan. Aku masih bisa bermain tanpa harus menyandang senjata. Di rumahku, di Indonesia, ada kebahagiaan yang tak mungkin terhitung untuk kusyukuri.
Foto cover dari Flickr oleh Trekpedition.Com.