Dosen Saya, Sang Pemberontak
30 menit saya telat mendatangi perkuliahan pagi. Saat memasuki ruang kuliah saya tidak menemukan dosen, saya pikir dosennya jauh lebih telat dari saya (bendera kemenangan pun saya kibarkan dalam hati).
“Udah ada Bapaknya,” tutur seorang teman yang duduk di barisan terdepan.
“Hah?” Saya pun merespon informasi itu dengan segera.
“Bapaknya udah datang dari pagi, tapi keluar lagi,” jelas si teman yang dengan santai memangku kaki kanannya di paha.
“Ohhh,” jawabku sambil menoleh kembali ke meja dosen yang kosong (bendera kemenangan pun seketika turun, robek, terbakar).
Dosen yang ditunggu pun akhirnya datang kembali ke kelas. Kelas belum penuh, masih cukup banyak kursi yang belum diduduki. Saya duduk di barisan terdepan. Meski ini pertama kalinya saya mendapat kuliah dari dosen yang satu ini, saya sudah cukup sering berinteraksi dengan beliau. Bahkan dalam beberapa kesempatan saya sempat berkunjung beberapa kali ke rumah beliau.
Singkat cerita, setelah sesi perkenalan selesai, kuliah pun dimulai. Beliau memulainya dengan menjelaskan “aturan main” dalam kuliahnya.
Aturan nomor satu: mahasiswa boleh telat, boleh masuk kapan saja selama kuliahnya. Mau datang 5 menit sebelum kuliah usai pun silakan.
Aturan nomor dua: absensi diserahkan sepenuhnya kepada mahasiswa, beliau sepenuhnya percaya pada mahasiswa.
Aturan nomor tiga: mahasiswa dipersilakan makan/minum selama kuliahnya berlangsung selama tidak mengganggu jalannya kuliah.
Aturan nomor empat: Semua permasalahan kuliah diselesaikan hari itu juga, tidak ada tugas atau pekerjaan rumah.
Aturan yang ganjil. Ganjil karena kami sudah terbiasa dengan “aturan main” yang mengekang dari dosen-dosen terdahulu. Memang beliau bukan satu-satunya yang menerapkan “aturan main” yang “ganjil” ini. Namun beliaulah satu-satunya yang secara terbuka mengemukakan aturan tersebut secara lisan dengan disertai alasan serta pembenarannya.
Beliau bercerita bahwa banyak pula dosen lain yang mencemooh beliau. Alasannya karena hal yang dilakukan beliau hanya akan membuat mahasiswa malas dan tidak disiplin. Lantas apa tanggapan beliau? Beliau tidak lantas mencap mereka yang bersebrangan itu salah. Beliau paham bahwa mereka juga benar. Namun begitu beliau juga mempunyai pembenaran atas sikapnya yang dinilai salah oleh orang lain itu. Di mata beliau tidak ada yang salah, semuanya benar. Tergantung apa alasan pembenarannya dan darimana kita melihatnya.
Di mata beliau sikap yang diambilnya diyakini kebenarannya. Alasan pembenarannya adalah beliau tidak ingin mahasiswa-mahasiswanya merasa tertekan, terkekang dan terpaksa karena adanya aturan.
Beliau tidak ingin mahasiswanya rajin karena terpaksa. Beliau ingin mahasiswanya rajin karena adanya kesadaran yang timbul dari diri kami sendiri. Beliau khawatir jika kami rajin hanya karena adanya aturan, kami akan segera menjadi tidak rajin ketika aturan itu tidak ada.
Beliau mengibaratkannya seperti sebuah lingkaran berpagar. Pagar itu adalah aturan, dan lingkaran itu adalah tempat kami para mahasiswa berada. Daripada beliau berada di luar pagar dan mengawasi para mahasiswa agar tidak lompat keluar pagar, beliau lebih memilih untuk mencabut pagar itu dan berbaur dengan mahasiswa.
Beliau berbaur dan mengayomi mahasiswa agar tumbuh kesadaran dan rasa tanggung jawab dari diri mahasiswa. Kalau kesadaran itu sudah ada dalam diri mahasiswa, apa masih perlu pagar-pagar itu? Dengan rasa tanggung jawab yang tertanam, tanpa pagar pun mahasiswa akan tetap berada dalam lingkarannya.
Beliau ingin mahasiswa-mahasiswanya mendatangi kuliahnya karena benar-benar merasa butuh akan ilmu yang akan disampaikannya. Bukan hanya untuk sekadar mengisi absensi atau untuk sekadar mengejar nilai. Perkataan beliau benar-benar membuat saya kembali bertanya pada diri saya sendiri. Atas dasar apa saya ada di sini? Memenuhi kolom absensi? Mengejar nilai semata? Atau benar-benar untuk tujuan yang lebih mulia: mencari ilmu? Rasanya saya harus kembali memikirkan dan meluruskan niat saya.
Begitu cepat waktu berlalu. Saya suka dengan dosen yang satu ini. Dalam setiap percakapan dengan beliau saya selalu terkagum-kagum dengan jalan pikiran beliau.
Pikirannya benar-benar terbuka, tidak jadul, tidak konvensional. Beliau juga seorang muslim yang taat. Beliau seorang pemberontak. Beliau memberontak dengan pemikirannya. Ketika yang lain dengan teguh mempertahankan pemikiran yang konvensional, beliau berani tampil beda. Tampil beda bukan untuk mencari popularitas di kalangan mahasiswa, beliau tampil beda karena memang beliau meyakini ada cara lain yang lebih revolusioner. Sebuah cara yang beliau yakini lebih baik dari cara yang ada.
Foto dari Unsplash oleh Feliphe Schiarolli.