Risan Bagja

Fragmen Masa Kecilku

Fragmen Masa Kecilku
Fragmen Masa Kecilku

Tak banyak yang kuingat dari masa kecilku. Ingatanku memang payah. Yang kuingat hanya fragmen-fragmen kecil yang tidak utuh. Meski aku dilahirkan di Kota Cimahi—kota kecil di pinggiran Kota Bandung, tapi aku cukup banyak menghabiskan waktu kecilku di Kota Cirebon. Setidaknya aku dan keluargaku menetap di Kota Udang itu sampai aku masuk sekolah dasar.

Di Cirebon, aku, ibu dan ayah tinggal di sebuah rumah kontrakan. Aku tidak tahu di mana persisnya. Yang kuingat rumah itu di sebuah perumahan dengan nama-nama jalannya diambil dari nama burung. Kalau tidak salah rumah kami ada di Jalan Nuri.

Rumahnya lumayan besar dan memanjang ke belakang. Di bagian depan, di dalam rumah ada lapangan bulu tangkis dengan lantai semen seadanya. Sedang bagian utama rumah disekat-sekat dengan lantai tegel berawarna abu-abu. Kamar mandinya didominasi warna kuning, lengkap dengan tegel kecil berwarna senada.

Saat itu tentu aku masih tidur bersama kedua orang tuaku. Aku masih ingat di kamar ada sebuah lemari pakaian berwarna putih dengan bingkai-bingkai plastik berwarna keemasan. Di tengah lemari ada sebuah kaca besar dan laci untuk merias diri. Pernah suatu hari aku memainkan korek api dekat lemari tersebut. Akibatnya bisa diduga, lemari pun terbakar. Beruntung ada ibuku saat itu, dengan sigap beliau padamkan api tersebut. Lemari pun masih nampak utuh. Hanya gosong dibeberapa bagian kecil dekat kacanya. Aku juga selamat dari omelan ibuku. Sampai aku kuliah ibu dan ayahku tidak mengetahui kalau itu adalah perbuatanku. Katanya rumah kami di Cirebon itu angker dan kerap terjadi hal-hal ganjil, oleh karenanya mereka berdua tidak menaruh curiga padaku.

Aku masih mengingat beberapa kegiatan absurd yang sering kulakukan waktu kecil. Di depan halaman rumah tumbuh pohon yang menghasilkan buah seperti biji-biji jagung. Tiap kali berbuah pastilah aku melemparkan “biji jagung-jagungan” tersebut ke atas kanopi yang terbuat dari seng. Entah apa motifku saat itu, tapi rasanya senang saja mendengar suara gemerintingnya di atap. Seperti sedang dihantam hujan deras.

Saat aku kecil, aku memiliki sebuah sepeda roda tiga merk Family. Warnanya hitam dengan aksen kuning di setang dan rodanya. Ah, mungkin aku sangat macho nan garang kala itu. Roda sepeda yang bulat besar dan terbuat dari plastik itu sering aku masukan kerikil-kerikil kecil. Kerikil-kerilkil itu sengaja aku masukan lewat celah-celah pada roda agar menghasilkan suara menderu saat aku mengayuhnya. Aku juga kerap mengkhayal tengah berada di arena balap tiap kali bersepeda di lapangan bulu tangkis yang ada di dalam rumah.

Setiap sore aku juga sering bermain di galangan sawah, tak jauh dari deretan pabrik-pabrik rokok. Tujuan utamanya adalah untuk melihat kereta api yang melintas. Aku juga masih tak habis pikir bagaimana aku bisa menikmati pertunjukan “kereta melintas” tersebut. Yang kuingat aku selalu setia menunggu kedatangan kereta yang melintas dan senang karenanya.

Saat kecil aku juga punya kebiasaan yang aneh. Saat akan tidur pastilah aku melingkarkan jari jemariku di rambut ibu. Memelintir rambut ibuku, sehingga jemariku terlilit kuat. Entah untuk apa, tapi karenanya aku bisa tidur pulas dan cepat. Beruntung kabiasaaan itu perlahan pudar. Entah bagaimana jadinya kalau kebiasaan itu enggan lepas. Mungkin aku sudah membawa wig kemana-kemana untuk teman tidurku.

Teman kecilku pun tak banyak. Yang kuingat namanya hanya dua: Tomy dan Bela. Keduanya sebaya, Tomy adalah tetangga di depan rumahku. Sementara Bela tinggal di dekat lapangan. Ada juga sepasang laki-laki dengan hubungan adik-kakak yang aku lupa siapa namanya. Ingatanku tentang mereka benar-benar tak utuh. Mungkinkah aku pernah bertemu dengan mereka kembali?

Soal jajanan aku pun tidak ingat banyak. Yang kuingat aku sering membeli sayur-sayuran rebus dengan bumbu petis yang gurih nan syarat akan aroma ikan, entah apa namanya. Si Mbok yang menjualnya, keliling komplek dengan membawa dagangan di atas kepalanya. Beliau akan berseru menjajakan dagangannya. Sialnya aku juga tidak ingat apa yang diserukan beliau. Apakah “petis-petiiiisss”? Entahlah.

Ada lagi satu fragmen yang kuingat saat di Cirebon. Aku pernah kabur dari rumah. Kabur bukan karena tidak betah di rumah atau akibat konflik dengan orang tua, anak kecil mana mungkin bertindak sejauh itu. Aku kabur karena kangen ayahku, padahal setiap hari beliau juga pulang. Aku pergi dari rumah untuk mencari kantor ayahku. Aku tidak ingat apakah aku sampai ke kantor ayahku atau tidak. Aku juga tidak ingat bagaimana aku ditemukan atau dijemput. Aku hanya ingat kalau aku melintasi jembatan besar, aku juga ingat kalau aku melihat penjaja es serut. Ah seandainya aku mengingat semua itu.

Foto cover dari Unsplash oleh Jordan Whitt.