Hikayat Lahirnya Kerajaan-Kerajaan di Maluku
Syahdan, berlabuhlah seorang Arab di Ternate. Namanya Jafar Sadek, atau dikenal juga dengan nama Jafar Noh. Sesampainya di tanah Ternate, ia segera pergi ke sebuah bukit yang bernama Jare-Jare. Di puncak Bukit Jare-Jare itulah ia membangun rumahnya, memanfaatkan pohon-pohon kayu yang tumbuh di sekitarnya.
Pada suatu petang, Jafar Sadek pergi untuk mandi di sebuah danau yang terletak persis di kaki Bukit Jare-Jare. Danau asri yang dirimbuni oleh pepohonan di sekelilingnya itu bernama Danau Ake Sentosa. Belum sempat Jafar membuka pakaiannya, secara tidak sengaja ia melihat tujuh bidadari yang tengah mandi di danau tersebut. Di balik rimbunnya semak dan pepohonan, Jafar pun mengendap-ngendap dan mencuri sepasang sayap milik salah satu bidadari tersebut. Ia pun segera pergi dan menyembunyikan sayap curiannya itu.
Setelah puas mandi dan bermain air, ketujuh bidadari itupun segera menepi ke pinggiran danau. Sayang, Nur Sifa yang merupakan puteri bungsu dari tujuh saudari bidadari tidak bisa menemukan sayapnya. Dengan berat hati keenam kakaknya pun terpaksa meningglkan Nur Sifa di bumi. Jafar Sadek pun muncul bak pahlawan, menghibur Nur Sifa yang tengah dirundung kesedihan. Akhirnya Nur Sifa yang tidak mengetahui kalau Jafar Sadek lah yang mencuri sayapnya, tanpa merasa keberatan menerima pinangan Jafar Sadek.
Selama menjalin rumah tangga, Jafar Sadek dan Nur Sifa pun dianugerahi tiga orang putera. Yang tertua diberi nama Baka. Putera yang kedua diberi nama Darajat. Sedangkan putera bungsunya diberi nama Sahajat.
Suatu hari Nur Sifa tengah memandikan Sahajat kecil. Kala memandikan putera bungsunya itu, ia samar-samar melihat pantulan bayangan sayap miliknya pada permukaan air. Benar saja, sayap miliknya yang telah lama hilang itu disembunyikan di langit-langit rumah Jafar Sadek.
Nur Sifa pun segera mencoba sayapnya itu. Tiga kali ia mencoba untuk terbang, tiga kali pula ia gagal. Baru beberapa jengkal ia melayang di udara, Sahajat yang masih kecil langsung menangis keras-keras. Menggagalkan niatnya untuk terbang lebih jauh lagi. Akhirnya Nur Sifa pun mengambil sebuah gelas dan menampung air susunya di gelas tersebut. Lalu Nur Sifa pun berpesan kepada putera sulungnya—Baka—agar memberi Sahajat susu di gelas tersebut bila ia kembali menangis. Nur Sifa pun berpesan untuk memberi tahu ayahnya, bahwa ibunya telah pulang kembali ke kahyangan. Akhirnya Nur Sifa pun terbang ke udara, kembali ke Kahyangan. Meninggalkan suami dan ketiga puteranya di bumi. Lamat-lamat ia mendengar tangis Sahajat yang kembali pecah, namun ia telah menetapkan niatnya untuk pulang.
Saat petang menjelang, Jafar Sadek pun kembali ke rumahnya. Mendengar kabar kepergiaan ibunya dari si sulung, Jafar Sadek pun tak kuasa menahan kesedihannya. Ia menangis sekeras mungkin, terisak-isak. Tanpa sadar, tangisan Jafar Sadek pun terdengar oleh seekor Guheba (elang laut dalam Bahasa Ternate). Guheba yang merasa penasaran itu pun akhirnya menanyakan penyebab dari kesedihan Jafar Sadek tersebut. Jafar Sadek menceritakan semua sebab-musababnya pada Guheba. Tak disangka Guheba menawarkan bantuannya kepada Jafar Sadek. Guheba bersedia membawa Jafar Sadek untuk terbang ke Kahyangan. Dengan senang hati Jafar Sadek menerima bantuannya. Ia melompat ke punggung Guheba dan segera terbang ke Kahyangan.
Sesampainya di Kahyangan, Jafar Sadek bertemu dengan Penguasa Langit yang merupakan ayah dari ketujuh bidadari. Jafar Sadek pun segera menyampaikan maksudnya kepada Penguasa Langit.
“Anak Anda, Nur Sifa, adalah istri hamba. Hamba hendak membawanya pulang.”, pinta Jafar Sadek.
Penguasa Langit pun hanya tersenyum dan segera memanggil ketujuh puterinya. Ketujuh bidadari itu pun muncul satu persatu dari balik tabir yang berkabut. Ketujuh bidadari itu benar-benar mirip satu sama lain, tak ada bedanya. Paras wajahnya, pakaiaanya, lekuk tubuhnya, tinggi badannya, rambutnya, semua sama.
“Kalau kau bisa menunjuk dengan tepat yang mana istrimu, kau boleh membawanya pulang!”, Tantang Penguasa Langit, “Namun bila kau salah menunjuk, maka kau harus mati!”, lanjutnya penuh ancaman.
Ditengah kebingungan dan ancaman akan kematiaannya, tiba-tiba seekor Gufu Sang (lalat hijau yang besar dalam Bahasa Ternate) hinggap di pundaknya. Si Gufu Sang pun menawarkan jasanya kepada Jafar Sadek, namun ia juga meminta imbalan atas jasanya itu. Jafar Sadek pun menjanjikan segala yang berbau busuk di dunia untuk Gufu Sang. Gufu Sang setuju dengan tawarannya, ia meminta agar Jafar Sadek memerhatikan di mana ia akan hinggap. Di mana ia hinggap, maka itulah Nur Sifa.
Gufu Sang pun terbang dari pundak Jafar Sadek. Ia terbang berputar-putar di antara tujuh bidadari yang serupa itu. Tak lama ia pun hinggap di salah satu pundak bidadari itu. Tentu saja Gufu Sang menentukan yang mana Nur Sifa dari aroma susu yang menguar, mengingat Nur Sifa tengah menyusui. Jafar Sadek yang tengah awas mengamati pun akhirnya menunjuk salah satu bidadari yang dihinggapi Gufu Sang. Benar saja pilihan Gufu Sang, ia hinggap di pundak Nur Sifa.
Penguasa Langit pun memperbolehkan Jafar Sadek untuk membawa puterinya pulang, ia juga akhirnya merestui pernikahan mereka. Namun Jafar Sadek dan Nur Sifa rupanya tidak ingin cepat-cepat pulang ke Bumi, mereka tinggal di Kahyangan untuk beberapa lama. Selama di Kahyangan mereka pun dikarunia seorang putera yang diberinama Mashur Malamo.
Saat Mashur Malamo menginjak usia satu tahun, Jafar Sadek dan Nur Sifa pun pamit kepada Penguasa Langit untuk pulang ke Bumi. Namun setiap kali mereka akan meninggalkan Kahyangan, Mashur Malamo menangis keras-keras. Penguasa Langit yang melihatnya, menyadari bahwa Mashur Malamo menginginkan kopiah (tutup kepala dalam Bahasa Ternate) miliknya. Benar saja, Mashur Malamo seketika menghentikan tangisnya kala Penguasa Langit memakaikan kopiah tersebut di kepalanya. Jafar Sadek, Nur Sifa serta Mashur Malamo bersama kopiah Penguasa Langit pun akhirnya pulang ke Bumi.
Ketika Jafar Sadek dan Nur Sifa sampai di bumi, mereka pun akhirnya bersua kembali dengan ketiga puteranya. Nur Sifa pun kemudian memberikan tanda-tanda yang berbeda untuk tempat duduk keempat puteranya itu. Putera sulungnya, Baka diberi sebuah tempat duduk dari age (sepotong buncak pohon dalam bahasa Ternate). Baka pun kemudian bertolak ke Makian dan menjadi cikal bakal kerajaan Bacan. Puteranya yang kedua, Darajat diberi tempat duduk dari ginoti (sepotong kayu terapung dalam bahasa Ternate). Darajat pun kemudian pergi ke Moti yang kemudian menjadi cikal bakal Kerajaan Jailolo. Adapun puteranya yang ketiga, Sahajat diberi sebuah tempat duduk dari moti (batu dalam bahasa Ternate). Ia pun bertolak ke Tidore dan menjadi cikal bakal Kerajaan Tidore. Sedangkan putera sulungnya, Mashur Malamo diberi sebuah tempat duduk berupa kursi. Mashur Malamo ini kemudian menjadi cikal bakal Kerajaan Ternate. Kopiah dari Penguasa Langit yang dimilikinya ini, kemudian menjadi mahkota bagi Kerajaan Ternate.
Catatan Kaki:
Hikayat ini ditulis ulang dengan berbagai perubahan pada redaksi dan gaya bahasanya. Naskah aslinya dibuat oleh Naidah, seorang Ternate dari klan Jiko yang menjabat sebagai Hukum Soasio pada 1859 hingga 1864. Naidah juga penulis dari Sejarah Ternate. Penulis sendiri membaca hikayat ini dalam buku “Sejarah Kepulauan Rempah-Rempah” karya Adnan Amal.
Foto cover dari Flickr oleh Fabio Achilli.