Kesetiaan Ransel Tua
Ransel tua sudah siap bergelayut malas di punggungku.
Baju, celana, celana dalam, sarung, handuk, sabun cair, sampo, roti dan air mineral
semuanya berkumpul bersekutu menjejali rongga-rongga tua ransel tua.
Dompet, lembaran-lembaran uang, KTP yang lusuh, handphone, charger, permen, parasetamol dan obat diare
semuanya sudah bersembunyi dengan rapi mengisi rongga-rongga lainnya.
Perjalananpun dimulai.
Ribuan kilometer aspal telah kulalui bersama si ransel tua ini.
Ribuan kilometer rel kereta telah kurayapi bersama si ransel tua ini.
Hamparan laut biru pernah kuarungi bersama si ransel tua ini.
Hamparan awan putih pernah kujelajahi bersama si ransel tua ini.
Puluhan peron telah kusulap menjadi hotel bintang 5 dengan si ransel tua sebagai gulinggnya.
Ratusan orang telah kutemui dalam gerbong-gerbong rusak kereta ekonomi, kami saling sapa, bertanya asal, tujuan, sekolah, hobi, jam, rokok, aqua, lontong, indomie telor, tapi tak satupun menanyakan dirimu.
Kenapa mereka tidak pernah bertanya “Apa kabar ransel tuamu tuan?”?
Mungkin aku hanya akan menengadah ke atas, membiarkanmu menjawab pertanyaan itu.
“Buruk sekali, dingin dan keras sekali tempatku ini” mungkin itu jawabmu.
“Tenang saja kawan, tempat kami pun sama buruknya. Ini bukan kursi, ini batu nisan. Lagipula aku tahu kau benci kecoa, bau pesing dan asap rokok” mungkin itu timpalku.
Sudah berapa banyak perjalanan kita lalui bersama?
Sudah berapa tahun kita lalui bersama?
“Hey, kau ransel tua! Masih maukah kau melakukan perjalanan bersamaku lagi?"
“Tentu sahabat!” jawab ransel tua
Tujuan berganti, angkot berganti, bis berganti, kereta berganti, kapal berganti, pesawat berganti, teman perjalanan berganti, hanya kau ransel tua yang tetap tak tergantikan.
Mungkin kita seperti sepasang kekasih yang menjalin jalinan tak kasat mata.
Sebuah jalinan yang memang sudah ditakdirkan sejak zaman azali.
Aku, ransel tua dan perjalanan, itulah takdir kita.
Foto dari Unsplash oleh Maria Fernanda Gonzalez.