Risan Bagja

Lune Bab 2 – Kembali Tersadar

Lune Bab 2 – Kembali Tersadar
Lune Bab 2 – Kembali Tersadar

Hal pertama yang kurasakan adalah denyutan keras dalam kepalaku: memalu-malu otakku dengan pukulan yang sangat keras. Rasanya ada sepasukan kurcaci tambang yang menghantam keras dinding tempurung otakku. Belum bisa aku membuka kelopak mata. Berat rasanya untuk membuka kedua mataku.

Berkali-kali kukerahkan otot-otot di sekitar lubang mataku. Perlahan kulit kenyal kelopak mataku sedikit terangkat. Kau tahu? Seperti membuka pintu gudang bawah tanah yang engsel-engsel penahan pintunya sudah berkarat. Perlahan retina mataku terulas sinar keemasaan yang tidak terlalu kuat cahayanya.

Beriringan dengan terbukanya kelopak mataku, kuregangkan seluruh otot-otot yang membalut tulang-tulangku. Dengan sekali tarikan nafas yang dalam, kuhentakan energi yang terpompa kesetiap sel-sel otot tubuhku.

Perlahan mataku yang sayup berkedip-kedip membiasakan dirinya dengan cahaya keemasan yang menerpa. Awalnya tidak begitu jelas. Berkali-kali mataku berkedip dan perlahan kubantu dengan gosokan lengan kananku.

Cahaya keemasan itu adalah sinar matahari yang tertutup awan-awan tipis yang bergerak beriringan. Sinar matahari yang keemasan itu merambat masuk menerobos kaca jendela yang sangat besar di sebelah kiri dari tempatku terbaring.

Matahari yang kemilau bergantung dekat cakrawala. Kurasa ini pagi atau sore hari. Kualihkan pandangan dari jendela yang sangat besar itu ke sekeliling tempatku terbaring. Kusapu semua ruangan dengan menolehkan leher dari kiri ke kanan.

Ruangan ini begitu bersih. Dinding-dindingnya bercat putih bersih. Di sudut terjauhnya terdapat sebuah pot berisi tumbuhan dengan daun-daunnya yang hijau bergaris kuning. Di sebelah kanan kepalaku terdapat lemari kecil yang di atasnya berjejer beberapa botol yang tampaknya berisi obat-obatan.

Perlahan-lahan kucoba untuk duduk. Kugunakan kedua siku tanganku untuk menopang berat tubuhku. Perlahan kuangkat kepalaku dari bantal yang begitu empuk. Dengan kaku aku topang diriku dengan tangan kananku. Terasa sakit saat kucoba mengangkat badanku untuk duduk tegak.

Kutengok pergelangan tangan kananku yang terasa sakit itu. Kudapati selang bening yang menjulur keluar dari pergelangan tanganku. Selang itu merambat dan bermuara pada tiang logam yang menggantung pada tembok di belakangku. Rupanya sebuah selang infus ditanamkan dalam pergelangan tanganku. Tetesan cairan berwarna bening menetes perlahan dari kantung infus; mengalir melalui selang bening menuju tubuhku. Aku rasa aku sedang berada di rumah sakit.

Dengan hati-hati kuputar badanku menghadap jendela kaca besar di samping kiriku. Sambil memegang pergelangan tangan kananku, aku duduk di tepi ranjang yang bersprei putih seperti halnya warna ruangan ini.

Dari tepi ranjang aku melihat halaman kecil yang ditumbuhi rerumputan dan pohon-pohon cemara yang tampak dirawat dengan baik. Di tengah rerumputan itu ada jalan kecil beralaskan batu-batu merah yang mengarah ke jalan yang lebih lebar.

Mataku mengikuti kemana jalan yang lebar itu mengarah. Kiri-kanan jalan itu ditumbuhi berbagai pepohonan yang daun-daunnya hijau dan terlihat menyegarkan. Di jalan itu nampak lalu lalang kereta-kereta yang ditarik oleh kuda atau sapi membawa sejumlah barang dagangan.

Beberapa kali melintas kereta-kereta logam yang mendesis mengandalkan tenaga uap. Kereta itu terlihat begitu indah dengan warna-warna coklat, keemasan, merah atau hitam. Sepanjang jalan itu terlihat orang-orang yang berjalan dan berhenti untuk melihat atau masuk ke dalam toko-toko yang dihiasi oleh kain-kain berwarna-warni.

Jalan itu lurus terus menuju arah matahari. Semakin jauh semakin terlihat menyempit dan seolah-olah menuju langsung ke bayangan abu-abu yang bertengger jauh di ujung pandanganku. Bayangan itu tidak asing bagiku. Itu sebuah gunung. Gunung Kirkus.

Deretan gunung-gunung berwarna abu-abu berjejer di sisi kiri dan kanan gunung Kirkus. Pegunungan Kartius merupakan pegunungan tertua yang ada di dunia. Menurut para ahli, pegunungan Kartius terbentuk seiringan dengan terbentuknya dunia ini.

Selain itu di pegunungan Kartius terdapat tempat tertinggi di dunia: puncak Meridum yang berada di sisi tergelap gunung Kirkus. Tidak ada yang tahu seberapa tingginya dan bahkan belum pernah ada orang yang berhasil mendaki sampai ke puncak Meridum.

Kupandangi gunung Kirkus: dari kaki gunung terus ke atas; namun puncaknya tidak terlihat. Gumpalan awan abu-abu menutupi bagian puncak dari gunung itu—selalu begitu. Puncak Meridum tidak pernah terlihat.

Perasaan ganjil mulai menyelimuti diriku. Perasaan yang biasanya hadir saat bermimpi buruk. Semakin lama kutatap pegunungan yang berderet di hadapanku itu, semakin kuat perasaan itu mencengkram diriku.

Perlahan muncul pertanyaan-pertanyaan yang terngiang-ngiang dalam benakku. Kenapa aku ada di sini? Di ruangan yang tampak seperti ruang rawat di rumah sakit ini. Sudah berapa lama aku terbaring di ruangan ini? Mimpi! Mimpi buruk! Aku bermimpi buruk saat terbaring di sini. Mimpi yang sangat mengerikan: lorong-lorong gelap yang pengap, mata-mata pengintai yang siap menerkam, kabut tebal.

Pikiranku kacau. Semua mimpi-mimpi buruk yang kualami kembali teringat.

Saat aku tertegun menatap ke luar jendela. Saat mimpi-mimpi buruk itu mulai teringat dan muncul ke permukaan. Aku tersentak oleh suara pintu yang bergeser dari arah belakangku.

“Oh, Dee ku sayang. Kau sudah siuman? Syukurlah.” Terdengar suara seorang wanita yang tidak asing lagi bagiku, suara bibi Ann.

Kumenoleh dan kuputar pinggangku untuk menyambut pemilik suara itu. Kulihat sosok wanita yang berjalan tergesa-gesa. Berlari-lari kecil menghampiri ranjangku.

“Hai, Bi!” Jawabku sambil menyunggingkan senyuman ke arah wanita itu.

“Kau membuatku khawatir, apa kau baik-baik saja?” Tanya bibi Ann dengan kedua telapak tangannya mengapit kepalaku.

“Tidak, aku tidak apa-apa Bi. Bibi tidak usah khawatir. Seperti yang bibi lihat, aku baik-baik saja.” Ku jawab dengan menyisipkan nada penuh keceriaan. Aku tidak ingin wanita yang sudah berumur 58 tahun ini terlalu mengkhawatirkanku. Bibi Ann sangat baik terhadapku. Ia sangat mencintaiku dan akupun sangat mencintainya.

“Syukurlah kalau begitu. Bibi akan memanggilkan perawat dan membawa makanan untukmu. Tiga hari kau berbaring di situ, tanpa ada sedikitpun makanan yang masuk ke lambungmu. Itu membuatmu terlihat begitu kurus. Kau tunggu di sini!”

Dengan segera bibi Ann berjalan kembali ke arah pintu yang masih terbuka dan menghilang saat ia menutup kembali pintu tersebut. Tiga hari? Lama sekali aku tidak sadarkan diri. Apa yang tejadi denganku?

Tidak lama terdengar suara langkah kaki yang mendekat. Pintu kini terbuka lebar dan gagang pintu yang terbuat dari logam menghantam dinding yang menyangganya.

“DEE!!!” Teriak seorang laki-laki dengan postur sangat besar. Sama besarnya dengan lebar pintu tempat dia masuk.

“Bilbo!” Sambutku dengan riang. Lelaki berperawakan besar itu adalah sahabatku Billi. Ia adalah sahabat terbaik yang kumiliki.

“Kau benar-benar gila Dee! Kau gila!” Gumam Bill sambil memeluk tubuhku dengan kedua tangan raksasanya.

“Apa? Gila?”

“Yah, apalagi kalau bukan gila? Kau benar-benar gila! Untung saja para pemburu kelelawar itu dengan tidak sengaja menemukanmu.” Ucap Bill dengan wajah dingin. Berat tubuhnya mengakibatkan ranjang berdecit saat dia duduk di atasnya.

“Pemburu kelelawar? Aku tidak paham, aku tidak ingat. Memangnya apa yang terjadi padaku?” Tanyaku tidak paham dengan perkataannya.

“Kau tidak ingat? Kau diselamatkan para pemburu kelelawar.”

“Tidak, aku tidak ingat apapun.”

“Mungkin karena luka di kepalamu itu.” Bill menatap ke atas alisku.

Dengan jemari tangan kiriku, kususuri dahiku. Jari-jariku tertahan sesuatu di atas alis kiriku. Terasa sebuah kain perban menutupi sebagian kecil dahiku. Saat ku tekan-tekan permukaan perban itu, terasa denyut-denyut rasa perih di kepalaku. Palu-palu kurcaci itu terasa kembali berayun-ayun mengikis tempurung kepalaku.

“Mungkin.” Jawabku membenarkan perkataan Bill sambil sedikit meringis dengan rasa perih di tempurung otakku. “Kau tau apa yang terjadi padaku Bill?”

“Well, tidak terlalu., tapi kudengar…” Jawaban Bill terpotong ketika seorang perawat wanita melangkahkan kaki ke dalam ruangan. Di belakangnya terlihat seorang dokter dengan jas yang terbuat dari bulu berwarna coklat berjalan memasuki ruangan yang putih bersih ini.

“Tuan, bisakah Anda menunggu di luar?” Pinta perawat tersebut kepada Bill.

“Oh, tentu.” Jawab Bill sambil berdiri dari ranjang dan menatapku, lalu ia melangkahkan kakinya keluar.

Sesaat kemudian perawat tersebut meletakan sebuah papan kayu di atas ranjangku. Papan kayu tipis itu menjepit beberapa helai kertas. Perawat itu tersenyum kepadaku lalu kepada sang dokter yang berdiri di dekatku. Dengan sigap perawat itu keluar dan menutup kembali pintu tanpa ada suara sedikitpun.

Dokter itu mengambil kertas-kertas yang disimpan oleh perawat di atas ranjangku. Kacamata bulat besarnya memantul-mantulkan sinar matahari yang masuk lewat kaca jendela. Kumis tebal sang dokter bergerak naik-turun saat memeriksa tulisan-tulisan pada kertas yang dipeganggnya.

“Bagaimana keadaanmu, emm” Dokter itu mulai membuka pecakapan.

“Dee Dylan, Dok”

“Ya, Dylan. Bagaimana keadaanmu?” Sambung dokter itu kembali.

“Hmm, kurasa aku baik-baik saja Dok, hanya kepalaku terasa berdenyut-denyut.” Jawabku sambil memegangi kepala.

“Luka di kepalamu cukup serius, tapi untunglah tidak terjadi sesuatu yang serius dengan isi kepalamu.”

“Aku tidak ingat apa yang terjadi padaku.”

“Kepalamu menghantam batu dengan keras sampai kau tidak sadarkan diri. Untung saja para pemburu kelelawar itu menemukanmu. Mereka pandai menghentikan pendarahan di kepalamu. Pengobatan tradisional yang mujarab.” Terang dokter berkacamata itu dengan terkagum-kagum.

“Sekarang berbaringlah, aku harus memastikan kau memang tidak apa-apa.” Akupun menghempaskan badanku ke ranjang.

Ranjang itu tidak terlalu buruk. Bahkan lebih baik daripada kasur yang kutiduri di rumah paman. Nafas sang dokter terasa menyapu wajahku. Aroma daun mint tercium jelas setiap dokter itu menghembuskan nafasnya di hadapanku. Dokter dengan kumisnya yang tebal itu semakin membungkukan badannya ke arahku. Bisa kubaca dengan jelas papan nama di balik jas bulu coklatnya itu. Nama dokter yang sedang membungkukan badannya ini bernama: dr. Langley Stan. Nama yang terdengar tidak asing lagi bagiku. Namanya mengingatkanku pada sesuatu, tetapi otakku nampaknya terlalu letih untuk menggali informasi dari balik kepalaku.

Dari sudut mataku kulihat kemilau benda logam yang sedang dipegang dokter Stan dengan tangan kanannya. Perlahan terlihat jelas dokter Stan sedang memegang pinset logam yang ujungnya melengkung. Dengan perlahan ia dekatkan ujung pinset yang melengkung itu ke permukaan kulit dahiku yang dikelilingi perban.

Kupejamkan mataku saat dinginnya logam itu menempel pada kulitku. Kurasakan perekat perban itu terangkat perlahan oleh tarikan pinset dokter Stan. Denyutan rasa perih itu semakin menjadi-jadi.

“Sempurna! Bagus sekali!” Ucap dokter Stan sambil mengeleng-gelengkan kepalanya yang mulai ditinggalkan oleh rambut-rambut putihnya.

“Luka di kepalamu cepat sekali mengering.”

Aku hanya tersenyum tidak berkata apa-apa.

“Well, kau benar-benar beruntung nak. Istrihatlah, kau akan sembuh dengan segera.”

“Terima kasih dok!” Ucapku sambil melemparkan senyuman pada dokter itu.

“Sama-sama” Dokter itu membalas senyumanku dan kemudian berbalik menuju pintu.


Pintu kembali terbuka dan aku kembali menegakkan tubuh dan duduk di atas ranjang yang empuk ini. Bibi Ann masuk bersama Bill. Bibi Ann membawa baki yang terbuat dari kayu yang mengilap. Di atas baki itu terdapat sebuah gelas kaca berisi air putih dan sebuah mangkuk porselen yang besar berisi semacam sup berwarna putih kekuning-kuningan.

“Ini Dee, habiskanlah! Kau mau disuapi oleh bibi?” Bibi Ann meletakkan baki itu di atas ranjangku.

“Tidak terima kasih Bi. Aku bisa menghabiskannya sendiri.” Kulihat Bill tersenyum geli saat bibi Ann menawarkan untuk menyuapiku.

Bantal empuk yang ada di sampingku kuletakan di atas pahaku dan baki berisi makanan dan minuman itu kusimpan di atasnya. Kusambar gelas yang berisi air putih, kuteguk beberapa kali. Menyegarkan rasanya merasakan air yang dingin mengalir dalam tenggorokanku. Tidak sadarkan diri selama tiga hari pasti membuat kerongkonganku sekering sumur-sumur tua di gurun pasir.

Kuangkat mangkuk porselen itu ke arah hidungku. Terlihat asap putih tipis masih mengepul dari permukaan sup yang kental. Baunya memuakan, amis seperti ikan. Aku tahu makanan macam ini. Ini adalah sup healood! Ini adalah makanan yang akan diberikan kepada setiap pasien malang di rumah sakit. Aromanya benar-benar tidak kusuka. Campuran buah-buahan dan sayur-mayur kering yang ditumbuk, irisan daging ikan, minyak ikan dan susu sapi. Benar-benar mengerikan. Aku tidak suka ikan.

“Hei, jangan kau pandangi terus makananmu itu! Ayo habiskan!” Seru bibi Ann saat melihatku hanya diam menatap mangkuk sup healood yang kuangkat dengan kedua tanganku.

“Eh, ya Bi. Bibi tau aku kan tidak suka ikan dan ini adalah ikan.”

“Kau perlu asupan Dee, lihatlah dirimu! Kau nampak kurus dan wajahmu pucat.” Sergah bibi Ann.

“Habiskan saja Dee! Kau pasti kelaparan dan selama kau di sini Healood lah menu sarapan, makan siang dan makan malammu.” Sambung Bill.

Kulihat Bill duduk di kursi dekat lemari. Ia tersenyum melihat penderitaanku. Untuk berapa lama makanan mengerikan ini harus mengisi perutku? Aku harus segera pergi meninggalkan tempat ini. Aku harus segera sembuh.

“Oke.” Jawabku ketus.

Tidak ada pilihan lain selain melahap sup kuning pucat yang mengepul-ngepulkan asap ini. Mungkin mereka ada benarnya juga. Bagaimanapun tertidur selama tiga hari membuat perutku bergejolak kelaparan. Perlahan aku mulai menjejali mulutku dengan sup kental yang amis ini.

“Bill, kau tadi belum sempat menyelesaikan perkataanmu tentang kejadian yang menimpa diriku.” Dengan wajah yang penasaran aku memandang ke tempat Bill duduk, sambil mengambil kembali suapan yang kedua.

“Oh, ya. Tiga hari kemarin kau ditemukan oleh para pemburu kelelawar. Mereka menemukanmu tergeletak tidak sadarkan diri di salah satu terowongan tambang tua yang berada di celah-celah pegunungan Kartius. Mereka kebetulan sedang berburu kelelawar di situ. Omong-omong apa yang kau lakukan di tambang-tambang itu? Aku heran.” Jelas Bill yang kemudian menarik kursinya mendekati ranjangku.

“Apa yang kau lakukan di sana Dee? Kau membuatku khawatir. Untung saja mereka menemukanmu.” Bibi Ann menanyakan pertanyaan yang sama.

“Tambang tua? Aku sendiri tidak ingat apa yang kulakukan di sana.” Jawabku kebingungan.

“Kau juga tidak mengingatnya Dee?” Tanya Bill kembali.

“Tidak Bill, aku tidak mengingatnya. Hanya saja mimpi-mimpi itu.” Suaraku melemah dan sendok kayu yang kugenggam kuletakan kembali di baki yang juga terbuat dari kayu.

“Mimpi? Mimpi apa?” Tanya Bill keheranan.

Bibi Ann duduk mendekat. Merapat di samping ranjang empukku.

“Ya, aku rasa aku bermimpi saat tidak sadarkan diri. Aku memimpikan lorong-lorong gelap yang pengap. Kurasa itu terowongan dalam tambang. Mimpi itu gelap sekali, menakutkan. Ada mata-mata pemangsa yang tidak kasat mata mengintaiku di lorong-lorong pengap itu. Entahlah Bill, mimpi itu benar-benar buruk.” Jawabku dengan suara yang hampir seperti berbisik.

Kembali ku genggam sendok kayu dan mulai menyuapkan kembali sup healood yang sekarang tidak terlalu terasa mengerikan saat mimpi-mimpi mengerikan itu kembali menguasai pikiranku.


Matahari dengan sinar keemasannya menurun ke arah cakrawala. Semakin dalam dia turun semakin pudar warna keemasannya, digantikan oleh lembayung jingga yang berpendar. Sore hari, bukan pagi hari. Tidak kusangka aku telah berhasil menghabiskan seluruh isi mangkuk porselen itu. Beberapa saat yang lalu Bill pamit untuk pulang ke rumahnya.

Aku sendiri ternyata terbaring di rumah sakit Langley Stan. Nama tempat ini sama dengan nama dokter yang beberapa saat lalu memeriksaku. Pantas saja aku sempat merasa begitu kenal dengan nama dokter itu. Stanley Stan adalah satu-satunya rumah sakit yang terdapat di pulau ini. Stanley Stan terletak di pulau Caldera, pulau yang paling dekat dengan gunung Kartius. Rumah sakit ini adalah milik dokter yang berbau mint itu.

Semburat warna jingga menghiasi langit. Awan-awan tipis beriringan perlahan. Toko-toko kelontong di sepanjang jalan utama pulau ini mulai menyalakan lampu-lampunya.

“Bibi menginap di mana?” Tanyaku saat tegukan air terakhir mengalir ke kerongkonganku menghilangkan bau amis dari sup kental itu.

“Tidak, Bibi tidak menginap sayang. Sudah tiga hari Bibi menginap di sini. Bibi harus pulang. Bibi perlu memastikan Fuhler merawat kebun pamanmu dengan baik.”

“Tapi sudah hampir malam Bi, menginaplah di sini malam ini.” Saranku dengan nada khawatir. Rumah paman berada di pulau utama—tidak terlalu jauh—di sebelah Timur pulau Caldera. Namun semua tau ombak-ombak di sekitar kepulauan Makadera menjadi sangat liar ketika malam tiba.

“Tidak sayang, Bibi sudah cukup lama meninggalkan rumah. Besok pagi bibi akan datang kemari lagi.” Sambil menatapku lekat. Bibi Ann mengangkat baki kayu di atas bantal empukku dan meletakannya di atas kursi yang tadinya diduduki oleh Bill.

“Istirahatlah nak.”

Bibi Ann mengecup keningku. Kecupan lembutnya mendarat dekat perban di kepalaku. Sekali lagi aku melemparkan senyum pada Bibi. Segera ia tegakan badannya di samping ranjangku. Baru kusadari pakaian yang dipakainya terlihat kusut dan lusuh. Nampak garis-garis tipis berwarna coklat tanah menempel pada pakaian wol merah tuanya. Kasihan wanita ini. Dia sudah kuanggap sebagai ibu kandungku sendiri dan kurasa ia juga benar-benar menganggapku sebagai anaknya sendiri. Hampir tujuh tahun kami tinggal bersama di rumah paman. Semenjak kepergian paman, sepertinya hanya aku seoranglah yang ia miliki.

“Hati-hati Bi.”

“Tentu sayang.” Jawabnya dengan senyuman ringan.

Wanita itupun melangkahkan kaki ke arah pintu. Perlahan ia buka dan ia tutup kembali pintu ruang inapku. Ketika gagang pintu itu kembali ke posisi semula, kembali kutengok keadaan di luar jendela. Jalan-jalan di sepanjang jalan utama yang membelah pulau Caldera ini kini terlihat semakin semarak: lampu-lampu gas dinyalakan di sepanjang jalan yang cukup lebar itu.

Lampu-lampu minyak yang di simpan dalam lampion-lampion berwarna-warni bergelantungan di sepanjang kios-kios pedagang. Matahari kini hampir tidak terlihat lagi, hanya semburat-semburat keunguan yang masih tampak bergelayutan di langit. Di sana masih bertengger sosok abu-abu yang tampak makin mengerikan. Puncaknya semakin samar ditelan kabut-kabut yang tidak kalah mengerikannya.

Kuhempaskan badanku sambil memeluk bantal. Menatap putihnya langit-langit di ruangan ini. Beberapa kali kutarik dan kuhembuskan nafas sekuat-kuatnya. Rasa perih di kepalaku kini mulai berkurang. Nampaknya para pemburu kelelawar itu memang mempunyai obat yang mujarab, sampai dokter Stan terkagum-kagum. Tetapi siapa para pemburu kelelawar ini? Semua semakin membingungkanku: mimpi-mimpi itu, tambang tua tempat aku ditemukan, para pemburu kelelawar itu. Kupejamkan mataku berharap dapat menjawab rangkaian pertanyaan ganjil tersebut.

Foto dari Unsplash oleh Mathieu Daix.