Risan Bagja

Lune Bab 3 – Mimpi Buruk

Lune Bab 3 – Mimpi Buruk
Lune Bab 3 – Mimpi Buruk

Langit di luar jendela semakin lama semakin kelam ditelan oleh kegelapan malam. Sang Matahari yang kemilau sudah lelah bersinar sepanjang hari. Kini ia bersembunyi jauh di ufuk Barat. Lampu-lampu gas yang berjejer di sepanjang jalan di luar berpendar makin terang. Guratan tipis sinar-sinarnya menerobos masuk bergantung di langit-langit di hadapanku.

Dari sebelah kananku terdengar pelan suara engsel pintu yang bergerak. Serentak sinar-sinar yang lebih terang berkelebatan memenuhi ruangan putih tempatku terbaring. Seseorang berjalan sambil menenteng sebuah lampu minyak berukuran sangat kecil. Wajahnya terlihat jelas di terpa sinar lampu minyak yang dibawanya. Ia seorang wanita. Seorang perawat yang sama.

“Mau kunyalakan lampunya tuan?” Perawat itu menawarkan.

“Tentu, terima kasih.”

Perawat itu menaruh lampu minyak yang dibawanya di lantai dan ia mengambil sekotak korek api dari saku seragam putihnya. Sambil berjinjit perawat itu meraih sumbu lampu minyak yang tergantung dekat pintu. Cahaya dari api berpendar dari dalam tabung kaca lampu minyak. Sesaat kemudian perawat itu mengambil kembali lampu minyak yang ia letakan di lantai dan bergegas keluar ruangan.

Api dalam tabung kaca yang berkerak hitam di dasarnya bergoyang-goyang ke kiri dan ke kanan. Cahaya yang berpendar di ruanganpun ikut mengikuti arah goyangannya. Bayangan kerak, ranjang, meja dan diriku tepantul menempel di dinding sebelah kananku dan di langit-langit.

Kesunyian meliputi ruangan yang putih bersih dan bercahaya redup ini. Engsel pintu kembali berderak. Perawat dengan lampu minyak kecil kembali masuk ke dalam ruangan. Kini lampu minyak yang tadi ia tenteng berada di atas meja logam yang kaki-kaki kemilaunya memiliki roda. Perawat dengan meja dorongnya itu mendekati diriku yang terbaring di ranjang.

“Ini obat-obat yang perlu anda minum tuan.” Sambil melemparkan senyuman ia pindahkan sebuah piring dari atas meja dorongnya ke atas meja kecil di samping ranjangku.

“Dan ini minumnya.”

Tanpa menunggu lama perawat itu menarik meja dorongnya ke luar ruangan.

“Terima kasih.” Jawabku pelan, namun perawat itu sudah kembali menutup pintu.

Kesunyian kembali menyergap ruangan tempatku terbaring. Sesekali kudengar teriakan-teriakan dari luar; kurasa itu suara para penjual yang menjajakan barang-barang di tokonya. Kutegakan badanku dan menarik bantal di belakangku. Kusenderkan badanku yang kaku di kepala ranjang. Kuraih piring yang berada di atas meja. Selang infus yang menancap di pergelangan tanganku cukup mempersulit usahaku.

Ada empat buah obat yang keempatnya berbentuk bundar. Dua berwarna putih, satu berwarna oranye dan satu lagi berwarna hijau. Tidak ada masalah bagiku dalam minum obat. Beda halnya jika itu adalah sup ikan bernama healood. Kujejalkan langsung keempat obat itu ke dalam mulutku lalu kuambil gelas dan meneguknya perlahan sambil mendorong obat-obat itu melewati kerongkongan.

Selesai minum obat, kusimpan kembali piring dan gelas yang sudah kosong itu ke atas meja. Kualihkan pandangan ke luar jendela. Tampak cahaya-cahaya lampu berpendar di kegelapan malam bagai kunang-kunang yang sedang berpesta.

Cukup lama aku melihat ke luar jendela. Tampak orang-orang hilir mudik berbelanja di bawah lampion-lampion yang warna-warni. Caldera merupakan salah satu pusat perbelanjaan yang populer di kalangan para pelancong. Sejumlah toko menjual komoditas khas daerah kami: manisan kelapa, kalung-kalung kerang, perlengkapan berlayar, bola angin, daging kelelawar, alat-alat memancing, ikan-ikan kering dan segala hal berbau kepulauan. Lama kelamaan mataku terasa berat. Kubaringkan kembali badanku sambil memeluk bantal.


Kabut tebal yang pekat dan dingin mengelilingiku. Nafasku yang memburu membentuk uap-uap putih seperti asap cerutu yang keluar dari mulutku. Tetesan-tetesan air hujan yang dingin membuat badanku menggigil. Pandangan mataku tidak lebih dari lima langkah. Kabut ini benar-benar merepotkan.

Kuraba-raba tembok batu yang ada dihadapanku dengan telapak tangan kananku. Tangan kiriku menenteng lampu minyak yang kian redup apinya.

Kususuri perlahan dinding batu yang ditumbuhi lumut hijau itu. Bentuk bangunannya melingkar. Batu-batu yang menyusunnya terlihat hitam dan sangat kokoh walaupun ditumbuhi lumut hijau yang basah. Perlahan kuputari bangunan itu. Dengan sangat hati-hati ku melangkah, karena bukan tembok bangunannya saja yang ditumbuhi lumut, tempat ku berpijakpun ditumbuhi lumut hijau yang licin. Aku berpijak bukan pada tanah, tetapi di atas batuan yang sama hitamnya dengan tembok bangunan yang tengah kuraba-raba ini.

Tidak lama setelah kuputari dan kususuri bangunan bundar itu, akhirnya aku menemukan pintunya. Pintunya sendiri terbuat dari kayu-kayu yang juga ditumbuhi lumut. Tidak seperti bangunan itu sendiri, pintunya sangat rapuh dan lapuk. Hanya penopang besinya saja yang masih tetap kokoh.

Kudorong pintu itu. Engsel pintu yang pasti sudah berkarat berbunyi melengking. Bau lumut dan bau apak langsung menyergap hidungku saat pintu mulai terbuka. Kutengok isi bangunan batu itu dari celah pintu yang kubuka. Jaring laba-laba menempel pada wajahku yang menengok ke dalam.

Di dalam sangat gelap. Tidak ada yang bisa kulihat. Sangat jelas bangunan itu tidak bepenghuni dan sangat tidak biasa untuk dihuni. Kudorong lagi pintu lapuk itu. Kulangkahkan kakiku ke dalam bangunan itu. Di dalam bangunan itu lumayan hangat, tidak seperti di luar. Sekali lagi kususuri bangunan bundar itu, namun kali ini dari dalam.

Ada sebuah tangga. Tangga yang terbuat dari batu. Lagi-lagi batu yang sama dengan bangunan ini. Seolah-olah bangunan ini merupakan pahatan. Suara hujan samar terdengar dari dalam bangunan ini. Mungkin karena temboknya yang begitu tebal.

Pelan-pelan kupijakan kakiku di tangga batu yang terlihat begitu kokoh. Tangga batu itu menuju ke atas, menempel pada dinding bangunan. Dalam keremangan sinar lampu minyak kususuri tangga batu yang melingkar itu sambil meraba-raba tembok di sebelah kiriku.

Tidak lama suara hujan terdengar. Suara itu berasal dari jendela di dinding bangunan. Kutengokan kepalaku keluar jendela. Tidak ada yang bisa kulihat selain kabut. Kurasa bangunan batu ini adalah sebuah menara atau semacamnya. Terus kususuri tangga yang berputar ini. Cukup lama aku menyusuri tangga ini, namun belum juga sampai di puncaknya. Seberapa tinggi menara ini?

Semakin atas, dari jendela-jendela di tepi bangunan, kabut semakin menipis. Tetapi tetap saja tidak ada sesuatu yang bisa kulihat dengan mataku. Lelah menapaki tangga, aku berhenti sejenak di dekat jendela di dinding. Kembali kujulurkan kepalaku keluar jendela yang selebar bahuku itu. Kuhirup udara dingin di luar. Udara yang tipis dan dingin menusuk-nusuk paru-paruku. Ku lihat jauh ke depan. Sambil mengeryitkan dahi kucoba melihat menembus kabut dan hujan. Tidak jelas. Aku hanya melihat titik-titik kuning dan merah di kejauhan.

Kulangkahkan kembali kakiku menyusuri tangga. Terus ke atas seolah-olah tidak ada ujungnya. Sampai akhirnya pada saat kulihat ke jendela, hujan sudah mereda dan kabut pun menipis. Jauh di depan. Di bawah sana terhampar ratusan titik-titik terang berwarna-warni seperti bintang. Namun kebanyakan putih dan kuning. Titik-titik cahaya itu pasti lampu-lampu yang bertebaran di setiap penjuru daratan yang jauh di bawah sana.

Kutengokan kepala keluar dari jendela. Kucoba melihat ke bawah untuk melihat seberapa tinggi bangunan ini. Saat kudongakan kepalaku keluar jendela, terlihat kabut tipis melayang-layang di bawah menghalangi pandanganku. Tampak punggung awan yang gelap bergejolak seperti rangkaian ombak.

Ternyata kabutnya tidak menipis dan hujannya tidak berhenti! Hanya saja aku telah mendaki tangga melebihi keduanya. Udara yang semakin dingin dan tipis membuat paru-paruku mengembang dan mengempis semakin cepat. Kuayunkan kakiku untuk mendaki sampai ke puncak menara yang sangat tinggi ini. Rasa penasaran yang bergejolak akan menara ini mengalahkan rasa perih yang diderita paru-paruku.

Tidak lama terlihat di atas kepalaku atap dari menara ini. Di ujung anak tangga terakhir terdapat celah di dindingnya. Celah yang kurasa sebagai jalan masuk ke sebuah ruangan. Dari celah itu keluar cahaya temaram yang bergerak-gerak. Sepetinya berasal dari api, mungkin obor atau dari perapian. Siapa yang tinggal di puncak menara setinggi ini?

Kutempelkan tubuhku yang masih basah karena diguyur hujan di dinding dekat celah itu. Kuletakan lampu minyak di anak tangga yang lebih rendah. Kutajamkan pendengaranku berharap bisa mendengar sesuatu dari ruangan itu. Namun setelah beberapa lama tidak terdengar apapun kecuali suara api yang melahap sesuatu—sepertinya ranting pohon, yang berarti itu sebuah perapian. Aku putuskan untuk melihat ke dalam ruangan tersebut.

Dengan hati-hati aku mengintip ke dalam ruangan itu. Dari sudut mataku terlihat sebuah tungku perapian yang di depannya berjejer kursi-kursi bermodel sangat tua. Setelah yakin tidak ada siapa-siap di dalam ruangan itu, dengan perlahan aku langkahkan kakiku ke dalam ruangan yang hangat itu.

Tidak ada apa-apa dalam ruangan itu. Ruangannnya sangat kecil dan memanjang. Di ruangan itu tidak terdapat apa-apa. Hanya sebuah perapian yang menyala dan deretan kursi-kursi kayu. Di seberang ruangan terdapat celah yang sama dengan yang ada di belakangku. Ini sangat aneh. Siapa yang tinggal di sini? Di menara yang tinggi ini.

Perlahan aku berjalan mendekati perapian. Lantai batu di ruangan ini berdebu dan sangat kotor dan tidak terawat. Kulihat ke sekeliling ruangan. Sarang laba-laba yang ditinggalkan bergelayutan di dinding. Kursi-kursi itupun terlihat sangat lapuk dimakan usia.

Kudekati perapian untuk menghangatkan diri. Sambil berjongkok kuhadapkan telapak tanganku ke arah api yang berkobar melahap kayu-kayu. Dengan tetap waspada kusisir seluruh penjuru ruangan. Sepi sekali. Ini semua sangat ganjil. Siapa yang menyalakan perapian di atas sini? Hangat sekali rasanya. Kugosok-gosokan kedua telapak tanganku dan menempelkannya di pipiku yang membeku.

Api di perapian itu tiba-tiba membesar hampir-hampir menyambar diriku. Karena terkejut, dengan refleks aku lemparkan diriku ke belakang menjauh dari perapian. Sesaat api kembali berkobar dengan tenang. Kudekati kembali perapian. Entah bagaimana, rasanya ada angin yang berhembus kencang dari balik perapian. Dengan keheranan aku dekati perapian.

Apa yang kulihat kemudian sangatlah ajaib. Saat kutujukan pandanganku ke arah perapian, kulihat pemandangan yang sangat tidak wajar. Di belakang tembok perapian itu ku lihat daratan luas yang hijau membentang di sana. Yang kulihat bukanlah gambaran atau lukisan; bila itu lukisan pastilah sudah terbakar oleh api.

Pemandangan yang menakjubkan itu seolah terhalangi oleh sebuah kaca. Aku sendiri yakin yang kulihat itu bukan pemandangan di luar menara ini, karena di sana terang benderang oleh sinar matahari. Sesaat aku takjub sekaligus kebingungan melihat pemandangan yang luar biasa ini.

Ketika diriku terkagum-kagum melihat pemandangan yang indah membentang di dalam perapian, angin yang dingin kembali berhembus dari dalam perapian namun kali ini tidak sekeras angin sebelumnya. Aroma angin ini sangat menyenangkan. Harum dan menyejukan.

Api dalam perapian bergerak-gerak dengan cepat; ke kiri lalu ke kanan. Lidah-lidah api berayun-ayun dan berputar seiring dengan tiupan angin sejuk ini. Seketika api berkobar. Lidah-lidah api itu menjulur membentuk semacam tangan. Kembali ku jatuhkan diriku ke belakang. Mataku semakin terbelalak ketika tangan api di hadapanku berusaha menggapai-gapai tubuhku yang mulai gemetaran.

Tidak kuasa tubuhku untuk berlari. Kakiku seolah-olah terpasung pada lantai batu ini. Perlahan api dalam perapian itu semakin mengerikan. Tangan api di hadapanku perlahan menggapai-gapai mulut perapian. Tidak lama sesosok makhluk seolah-olah muncul dari dalam perapian. Sosok mengerikan itu berkobar terbuat dari api. Hanya bagian atas tubuhnya yang mencuat dari perapian.

Dengan gemetar aku menyeret-nyeret tubuhku menjauh dari sosok mengerikan itu. Ke arah kursi-kursi tua di belakangku. Secara tiba-tiba sosok yang berkobar itu menjulurkan tangannya ke arahku. Bunga-bunga api berloncatan ke arah wajahku. Tangannya memegangi sesuatu, sesuatu yang tampak seperti kotak. Ia jatuhkan kotak yang digenggamnya dekat kakiku.

“Ambillah!” Terdengar suara yang lebih terdengar seperti geraman dari arah perapian.

Dengan tangan yang gemetar kuraih kotak yang tergeletak itu. Kotak itu tidak panas, padahal sudah digenggam oleh tangan api itu. Kucoba untuk berdiri.

“A aapa ini?” Tanyaku pada sosok dalam perapian itu.

Terdengar geraman keras dari arah perapian. Suara mengerikan seperti lolongan serigala.

“Lari!” Terdengar lagi suara dari arah perapian.

“A a apa?” Tanyaku kebingungan.

“Cepat lari!” Kini suaranya tedengar bersamaan dengan geraman keras.

Akupun berjalan mundur sambil menatap sosok api itu. Dengan gemetaran kulangkahkan kaki ke arah celah tempatku masuk tadi. Sosok api dalam perapian itu bergoyang keras. Kepalanya begerak ke kiri dan ke kanan. Sesaat kemudian sosok itu lenyap menjadi bunga-bunga api.

DUARRR!!! Terdengar suara bebatuan yang hancur. Tempat perapian itu rubuh dibarengi semburan api yang sangat besar. Api yang menjulur itu hampir-hampir membakar kulitku. Dari reruntuhan perapian itu kini keluar sosok api yang jauh lebih besar dan menakutkan.

Kobaran api yang menyala dari reruntuhan itu membentuk sosok makhluk dengan moncong yang sangat panjang. Melihat kejadian itu aku kembali terpaku di tempat. Terdengar geraman yang keras dari makhluk api yang berada di ruangan itu. Tanpa disangka-sangka sosok itu tiba-tiba melompat kearahku. Sosok itu menggeram keras di hadapanku. Memperlihatkan isi taring apinya yang mengerikan.

Kaget dan takut, aku membalikan tubuhku dan mempercepat langkahku. Makhluk api itu melompat tinggi di atasku dan menghalangiku untuk keluar dari ruangan. Sekali lagi makhluk itu menggeram keras. Terasa panasnya api di hadapanku. Makhluk api itu seperti serigala raksasa. Tubuhnya berkobar-kobar dengan api.

Dengan segera kubalikan tubuh dan berlari ke arah celah yang berada di seberang ruangan. Jantungku berdenyut dengan cepat. Kukerahkan semua tenagaku untuk berlari. Suara mengerikan dari arah belakang semakin mempercepat denyut jantungku. Kulompati pecahan-pecahan batu yang berserakan. Sementara tangan kiriku tetap memegang erat kotak pemberian sosok asing sebelumnya.

Sesaat kemudian tubuhku terdorong ke depan. Tersungkur di lantai batu yang keras. Punggungku panas terbakar. kutengokan kepalaku ke balik punggungku. Makhluk itu menginjakkan kaki apinya di punggungku.

Dengan kakinya ia balikan tubuhku. Kini aku langsung berhadapan dengan sosok serigala raksasa ini. Kulihat sosok serigala itu kini hanya sebagian tubuhnya saja yang berapi. Namun hal itu tidak sedikitpun mengurangi kengerianku.

Kakinya yang bercakar tajam mendorong-dorong daguku. Ukurannya yang sangat besar membuat tulang-tulang rusukku seakan-akan remuk. Paru-paruku sesak karena kesulitan bernafas. Geraman keras dari makhluk itu terus terdengar. Ia perlihatkan taringnya yang tajam dan besar di hadapan mukaku. Air liurnya menetes membasahi wajahku. Dengan bukaan mulut yang sangat lebar ia arahkan rahang penuh gigi itu kepadaku.

Sangat cepat serigala itu tersungkur ke tembok. Kulihat juluran api melesat cepat melintasi ruangan. Tampak sosok berapi yang mirip manusia berjongkok di atas reruntuhan mengarahkan senjata yang sepertinya panah ke arah monster serigala mengerikan itu. Tubuh serigala itu benar-benar besar. Bulu-bulunya putih bergaris abu-abu. Beberapa panah api menancap pada lambung hewan mengeikan itu.

“Cepat! Keluar dari sini!” Perintah suara yang sepertinya datang dari pemanah berapi itu.

Dengan segera aku bangun dan mengambil kotak yang tergeletak di sampingku. Segera setelah aku mendekati celah yang berada disebrang ruangan, geraman yang keras terdengar dari arah belakangku.

“AWAS!!!” Terdengar teriakan yang juga datangnya dari belakang.

Sambil berlari, kuputar kepalaku untuk melirik ke belakang. Serigala yang tadinya terkapar di dinding kini tengah melompat ke arahku. Pemanah berapi itu terus memanahi serigala itu. Tampak belasan panah berapi menancap di badan si serigala. Matanya merah tua. Rahangnya terbuka memamerkan taring-taringnya. Saat itu aku telah sampai di celah yang beseberangan dengan celah tempat aku masuk tadi. Dengan hentakan yang sangat keras serigala itu menerjang tubuhku.

Tubuhku terlempar ke depan dengan keras. Sesaat kemudian kegelapan menyelimuti sekelilingku. Aku tidak tersungkur. Aku melayang. Kudengar jelas suara geraman serigala itu. Kudengar jelas suara angin mendesir cepat. Aku terjatuh! Terjatuh menuju dasar menara yang keras terbuat dari batu. Sesaat pikiranku melayang-layang saat tubuhku terus terbawa gravitasi. Aku membayangkan Bibi Ann yang sendirian. Aku membayangkan Billi sahabat terbaikku. Aku membayangkan bukit-bukit hijau di Willow.

Beberapa detik aku melayang di udara sampai akhirnya tubuhku menghantam papan kayu yang lapuk. Berkali-kali tubuhku menghantam kayu lembek, berkali-kali tubuhku terbelit tali temali yang lentur. Lama kelamaan aku bukannya melayang, akan tetapi terguling-guling di tanah yang menurun.

Setelah puluhan kali terguling akhirnya tubuhku berhenti menghantam dinding tanah. Suara rintihan yang mengerikan terdengar menggema dari lorong yang menanjak tempatku terguling tadi. Dengan gelagapan aku meraba-raba tanah mencari kotak yang diberikan sosok berapi di puncak menara itu.

Bagaimanapun kotak itu pasti sesuatu yang penting. Tidak lama aku menemukan kotak itu. Segera kubangkit dan lari menyusuri lorong gelap di kananku. Lorong itu berbentuk kotak dengan penyangga-penyangga kayu setiap beberapa langkah.

Kudengar lolongan keras dari lorong di belakangku: serigala itu masih mengejarku! Berlari dan terus berlari. Itulah yang ada dalam pikiranku sekarang ini. Terus aku telusuri lorong-lorong gelap ini yang entah mengarah kemana. Sementara di belakangku suara mengerikan makhluk berbulu itu terus bergema dan semakin dekat. Kupercepat lariku. Jantungku berdetak keras dan tak karuan, seakan-akan siap untuk meledak. Paru-paruku terus mengkerut dan mengembang diisi udara pengap dalam lorong ini.

Bola-bola cahaya merah yang redup berjejalan memenuhi lorong pengap itu. Seperti bola-bola mata dari monster bawah tanah. Kedua kakiku terus mengayun, kemudian terdengar lolongan keras dari arah belakang. Sesaat kemudian gemuruh yang mengerikan bergema di lorong. Tubuhku terhempas dan tersentak ke depan.


Tetesan keringat dingin menggenang di keningku yang berdenyut-denyut. Kepalaku kembali terasa perih. Dengan nafas yang terburu-buru kutegakan tubuh. Mimpi buruk rupanya. Mimpi yang sama.

Kulihat ke luar jendela. Langit benar-benar hitam sempurna tanpa bintang. Keadaan di luar sangat sepi. Hanya ada sedikit toko yang masih tampak terbuka. Trotoar-trotoar di sepanjang jalan sangat lengang tanpa kehadiran para pelancong.

Kutarik nafas dalam-dalam. Kutenggelamkan tubuhku dalam ranjang yang empuk. Perlahan kututup kembali kedua mataku. Kucoba untuk tidak memikirkan mimpi buruk itu. Dalam benakku kuhadirkan hal-hal yang menyenangkan. Kubayangkan hari-hari bersama bibi Ann dan Billi saat kami pergi piknik ke Willow saat musim semi. Kubayangkan saat aku dan Billi menyusuri hulu sungai Lamerick di musim panas. Kubayangkan saat aku dan teman-temanku di Makadera pergi ke perayaan Caldera di musim dingin. Kubayangkan manisnya wajah cantik seorang gadis yang tersenyum kepadaku di klinik Pamomera saat telingaku pecah di musim gugur. Semoga mimpi buruk ini tidak muncul kembali.

Foto dari Unsplash oleh Connor Jalbert.