Risan Bagja

Reruntuhan Benteng

Reruntuhan Benteng
Reruntuhan Benteng

Entah sudah berapa lama aku tertidur di reruntuhan benteng ini. Langit mulai merona kemerahan, ditelan senja yang merayap di batas cakrawala. Terik mentari sudah hilang entah kemana, hanya menyisakan jingga-keemasan yang memantul di riak-riak lautan. Di kejauhan tampak para nelayan yang tengah menebar jala-jalanya. Senja yang damai pun perlahan luruh bersama desau angin yang kian lirih.

Aku masih saja malas mengangkat tubuhku, menyenderkannya pada dinding benteng yang hitam dan dingin. Tak banyak dinding benteng yang utuh tersisa. Sebagian banyak telah dipreteli warga untuk membangun rumahnya.

Seketika punggungku membeku. Dingin luar biasa menyergap dari arah belakangku. Mataku pun terbelalak. Jantungku seolah mencelat dari dada ketika pandangku jatuh pada sosok asing yang tiba-tiba melayang tepat di sampingku.


Semua teori tentang hantu yang selama ini kupercayai runtuh seketika. Kubayangkan hantu itu berkulit hijau kusam dan bersisik. Mungkin wajahnya menyeringai mengerikan dengan sepasang taring kuning-besar yang mencuat dari kedua sudut bibirnya. Kubayangkan mata hantu itu besar, berwarna merah-menyala, menebar teror dan mimpi-mimpi buruk. Mungkin tubuhnya menjulang besar dengan hanya berbalut cawat putih.

Hantu lelaki yang menemuiku ini jauh dari gambaran menakutkan yang selama ini kupelihara. Ia terlihat seperti asap. Melayang-layang ringan di udara. Rambut keritingnya yang pendek menyentuh tengkuk. Badannya tinggi-kurus, memprihatinkan. Ia mengenakan kaus putih dengan celana kain panjang berwarna kecokelatan. Matanya dalam dan sayu, seolah menyimpan kesedihan yang mendalam.

“Dahulu ada perkampungan kecil di tempat benteng ini berdiri.”, ujar Tuan Hantu memulai percakapan, “Kala itu kami hidup segala berkecukupan dari bertani pala dan cengkeh. Menjualnya kepada para pedagang dari Jawa, Arab dan Cina yang singgah. Tak pernah kami kekurangan sesuatu apapun. Hidup kami bahagia.”

Tuan Hantu terdiam dalam jeda yang lama. Memandang jauh ke arah lautan yang perlahan dijemput petang. Mungkin ia tengah tenggelam dalam kenangan masa lalunya. Tentang kejayaan pala dan cengkeh yang dahulu menjadi incaran bangsa-bangsa Eropa. Tentang rempah yang harganya melampaui harga emas.

“Lalu?”, aku memotong diamnya.

“Di suatu pagi puluhan kapal besar mengitari pulau.”, jawabnya parau, “Mereka muntahkan bola-bola meriam ke arah pelabuhan. Meluluhlantakan kapal-kapal pedagang yang bersandar. Meratakan pasar-pasar yang berdiri di sepanjang pesisir.”

“Kapal-kapal itupun bersandar, menurunkan ratusan prajurit bertubuh tinggi dengan senapan api di bahunya. Kami semua dikumpulkan di lapangan belakang kampung. Berbaris diliputi kebingungan dan ketakutan.”

“Kebun-kebun pala dan cengkeh kami dibakar, dibumi-hanguskan. Asap yang hitam pekat melambung memenuhi udara. Seseorang dari kami merangsek keluar barisan, melawan prajurit-prajurit bertubuh besar itu. Mudah saja serangannya dipatahkan. Sebilah pedang mendarat tepat di lehernya. Kepalanya terlepas, darah mengalir deras dari pangkal lehernya. Pemandangan yang paling mengerikan dalam hidupku.”

“Kami tertunduk lesu pada takdir yang akan menyambut kami. Saat kebun terakhir lunas dilahap api, sejurus moncong-moncong senapan dihadapkan pada kami. Rentetan ledakan mesiu berdesing riuh. Kami kelabakan berlari ke segala penjuru. Tapi semua itu sia-sia. Kami telah dikepung. Sebuah peluru pun berhasil bersarang di leherku.”

Tuan Hantu kembali terdiam, menelan sendiri kesedihannya. Ia melayang-layang di tepian benteng, kemudian hilang ditelan kegelapan yang kian pekat. Aku pun beranjak dari tempatku. Keluar melalui celah-celah dinding benteng yang menganga. Meninggalkan pilu di balik bayang-bayang suram reruntuhan benteng itu.

Foto cover dari Flickr oleh Neil Howard.