Risan Bagja

Titik Kulminasi

Titik Kulminasi
Titik Kulminasi

Solder panas dan gulungan kawat timah beradu. Berdesis lalu mengepulkan asap putih yang pekat. Asap timah itu bergulung berputar di udara, lalu menghilang perlahan ditelan cahaya lampu 5 watt yang temaram. Deru kipas komputer terdengar ringkih mendengung. Di luar gerimis turun mewarnai langit sore di pinggiran Kota Bandung. Sesekali udara dingin menerobos masuk lewat celah-celah jendela, menghalau pengap yang menguasai ruang kecil tempat aku berada. Aku terjebak. Sial!


Aku kuliah di Politeknik Negeri Bandung, dengan konsentrasi pada bidang telekomunikasi nirkabel. Ya, kuliahku berkutat seputar hal-hal teknis bagaimana suara kekasihmu di seberang sana bisa kau dengar lewat ponselmu. Awalnya aku mengambil program teknik telekomunikasi karena berdasarkan pertimbangan masa depan yang cerah di bidang ini. Meski tergolong program studi paling sulit, namun iming-iming kerja mudah dan gaji besar mendorongku untuk memilihnya. Pendek sekali pemikiranku. Namun di awal-awal perkuliahan, hatiku berkata lain. Gelisah dan nelangsa. Aku tidak bahagia.

Setelah dijalani, aku tidak punya minat sama sekali terhadap bidang ini. Terlebih saat berhari-hari aku terjebak di laboratorium dalam rangka mengikuti sebuah lomba. Muak rasanya dengan hal-hal teknis seperti ini. Pun begitu aku masih bertanggung jawab pada orang tua, karenanya aku lebih memilih bertahan.

Meski tidak berminat, nilai-nilaiku secara ajaib nyaris sempurna. Aku tidak berbangga akannya. Aku sangat jarang belajar. Itu semua keberuntungan saja. Apa yang kubaca malam sebelumnya, keluar pada ujian esok harinya.


Aku berjalan keluar ruangan kecil yang terkucilkan di pojok laboratorium itu. Aku melangkahkan kakiku keluar. Hawa dingin memelukku dengan mesra. Wangi tanah yang basah diguyur hujan mengerubungi penciumanku. Aku tahu, aku rasa, aku yakin tempatku bukan disini.

Aku ingin berlarian bebas. Menghambur bersama kuda-kuda yang berlarian di padang rumput. Aku ingin berjalan di tepi pantai, membiarkan kaki-kakiku dijilati ombak lautan. Aku ingin berenang. Menyelam menyapa ikan-ikan yang bersembunyi di balik karang. Aku ingin membeku di puncak gunung, menikmati mentari yang lamat-lamat terbit. Aku ingin berteman dengan alam!

Aku ingin pergi menelusuri lorong-lorong suram kota tua. Membiarkan wajahku ditampar debu jalanan. Membiarkan badanku terbakar nyala mentari. Aku ingin mununggangi gerbong-gerbong tua yang lusuh itu. Aku ingin merengkuh senyum-senyum tulus mereka yang terpinggirkan. Aku ingin bersama mereka, mereguk sari-sari kehidupan.

Seorang Pendaki.
Seorang Pendaki.

Usai sudah hujan membasahi bumi. Rintiknya reda. Daun-daun basah meneteskan bulir-bulir yang ia tampung. Senja pun luruh. Aku ingin mereguk sari-sari kehidupan.

Foto cover dari Unsplash oleh Todd Diemer.
Foto seorang pendaki dari Unsplash oleh Chris Hayashi.